BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar
Belakang
Perkawinan
menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang
pria dan seorang wanita sebagai suami-istri dengan maksud membentuk keluarga (rumah tangga)
yang bahagia kekal dan tentram
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Sedangkan
menurut agama Islam perkawinan merupakan
suatu akad atau perjanjian untuk mengikatkan
diri antara seorang laki-laki dan seorang perempuan untuk menghalalkan hubungan
kelamin antara kedua belah pihak dengan dasar sukarela dan keridhaan keduanya
dalam rangka mewujudkan suatu kebahagiaan hidup berkeluarga yang diliputi rasa
ketentraman dan kasih sayang dengan cara yang diridai dan di halalkan oleh Allah.[1]
Sebagai salah satu
kerangka awal untuk mendapatkan jaminan hukum dalam sebuah perkawinan adalah
dengan mencatatkan perkawinan tersebut kepada instansi yang berwenang. Hal ini
tidak hanya berlaku bagi orang yang beragama Islam saja, melainkan juga bagi sumua
agama, mereka yang beragama Kristen, Katholik, Hindu maupun Budha harus pula
melaporkan perkawinannya pada instansi yang berwenang. Sebagaimana tertuang
dalam UU no. 22 tahun 1946 j.o. UU No 32 1954 tentang Pencatatan Nikah, Talak
dan Rujuk ( penjelasan pasal 1) juga dalam UU No. l Tahun 1974 tentang
Perkawinan pasal 2 ayat 2, yang diperkuat dengan Inpres RI no. 1 tahun 1991
tentang Kompilasi Hukum Islam pasal 5 dan 6.
Berdasarkan Al-quran dan hadis, para ulama menyimpulkan bahwa hal-hal yang
termasuk rukun pernikahan adalah calon suami, calon isteri, wali nikah, dua
orang saksi, ijab dan qabul. Kewajiban akan adanya saksi ini adalah
pendapat Syafi’i, Hanafi dan Hanbali[2].
Adapun syarat-sahnya nikah, menurut Wahbah Zuhaili adalah antara suami isteri
tidak ada hubungan nasab, sighat ijab qabul tidak dibatasi waktu, adanya
persaksian, tidak ada paksaan, ada kejelasan calon suami isteri, tidak sedang
ihram, ada mahar, tidak ada kesepakatan untuk menyembunyikan akad nikah salah
satu calon mempelai tidak sedang menderita penyakit kronis, adanya wali .[3]
Melihat kriteria rukun maupun persyaratan nikah
di atas, tidak ada penyebutan tentang di wajibkannya pencatatan. Keberadaan
saksi dianggap telah memperkuat keabsahan suatu perkawinan. Pihak-pihak terkait
tidak bisa mengadakan pengingkaran akan akad yang sudah terjadi. Bisa jadi ini
didasarkan pada pernikahan masa Rasulullah sendiri tidak ada yang dicatatkan.
Dalam kitab fikh klasikpun tidak ada pembahasan tentang pencatatan pernikahan.
Di sisi lain, pada dasarnya Al-Qur’an menganjurkan mencatatkan tentang
sesuatu yang berhubungan dengan akad. Namun oleh mayoritas fuqaha hal tersebut
hanya dianggap sebagai anjuran, bukan kewajiban. Hal itu untuk menjaga agar
masing-masing pihak tidak lupa dengan apa yang sudah diakadkan. Memang pada mulanya pernikahan pada masa
Rasul, tidak ada ketentuan pencatatan karena belum banyak kasus yang berkembang
seputar problem pernikahan seperti halnya saat ini[4].
Perkembangan zaman saat ini menuntut suatu penyelesaian yang tegas secara hukum
dari berbagai problematika pernikahan, sehingga tak di salah gunakan oleh
pihak-pihak yang kurang bertanggung jawab.
Dari sinilah penulis ingin mengkaji lebih
lanjut hukum dari nikah tanpa adanya
pencatatan negara ( nikah siri ), Sehingga nantinya tidak terjadi kesimpang
siuran antara hukum agama dan undang-undang negara.
B. Rumusan masalah
1.
Apa definisi dari nikah siri ?
2.
Bagaimana eksistensi nikah siri dalam masyarakat ?
3.
Bagaimana hukum nikah siri ?
C.Tujuan
penelitian
1. Mengetahui definisi dari nikah siri
2. Mengetahui dampak dan sikap masyarakat terhadap pelaku nikah siri
3. Mengetahui hukum dari nikah siri
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi
Nikah Siri
Pernikahan siri sering diartikan oleh masyarakat umum dengan:
Pertama; Pernikahan yang dilaksanakan tanpa adanya seorang wali. Pernikahan semacam ini dilakukan secara
rahasia (siri) dikarenakan pihak wali perempuan tidak setuju; atau karena
menganggap absah pernikahan tanpa wali; atau hanya karena ingin memuaskan nafsu
syahwat belaka tanpa mengindahkan lagi ketentuan-ketentuan syariat.
Kedua, Pernikahan yang sah secara agama namun tidak
dicatatkan dalam lembaga pencatatan negara. Banyak faktor yang menyebabkan
seseorang tidak mencatatkan pernikahannya di lembaga pencatatan sipil negara.
Ada yang beralasan karena faktor biaya, alias tidak mampu membayar administrasi
pencatatan; ada pula yang disebabkan karena takut ketahuan melanggar aturan
yang melarang pegawai negeri nikah lebih dari satu; dan lain sebagainya.
Ketiga, Pernikahan yang dirahasiakan karena
pertimbangan-pertimbangan tertentu; misalnya karena takut mendapatkan stigma
negatif dari masyarakat yang terlanjur menganggap tabu pernikahan siri; atau
karena pertimbangan-pertimbangan rumit yang memaksa seseorang untuk
merahasiakan pernikahannya.
Dari ketiga definisi nikah siri di atas yang paling
tepat dan dianggap sah oleh syari’at agama adalah definisi yang ke dua,
Rasulullah
saw telah bersabda;
لا نكاح إلا بولي[5]
“Tidak
sah suatu pernikahan tanpa seorang wali.”
Kata ”laa” pada hadits menunjukkan pengertian ‘tidak sah’, bukan
sekedar ’tidak sempurna’ sebagaimana pendapat sebagian ahli fikih. Makna
semacam ini dipertegas dan diperkuat oleh hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah
ra, bahwasanya Rasulullah saw pernah bersabda:
“Wanita
mana pun yang menikah tanpa mendapat izin walinya, maka pernikahannya batil;
pernikahannya batil; pernikahannya batil”.
Definisi yang ke tiga kurang bisa diterimanya karena
adanya hadis yang berisi anjuran langsung dari nabi untuk melakukan walimah, walaupun tidak sampai berhukum wajib akan
tetapi nabi sangat menganjurkannya (sunnah muakkadah).
Nabi saw bersabda;
اولم ولو بشاة[7]
“Adakanlah walimah walaupun dengan seekor kambing”.
Sehingga
nikah siri yang menjadi pembahasan kali ini adalah nikah yang sah menuut hukum
syari’at Islam karena telah terpenuhinya syarat dan rukunnya, namun belum di
anggap sah oleh Negara di sebabkan belum terdaftar dalam buku pencatatan
perkawinan.
B. Eksistensi
Nikah Siri Dalam Masyarakat
Meski sudah banyak diketahui bahwa pada prinsipnya nikah sirri merugikan
kaum perempuan, namun sampai saat ini fenomena tersebut masih sering dijumpai.
Praktik nikah siri tersebut tidak hanya terjadi di lingkungan masyarakat yang
awam hukum, berpendidikan rendah, atau golongan ekonomi menengah ke bawah saja,
tetapi juga banyak terjadi di lingkungan nasyarakat terpelajar yang memahami
hukum, ataupun di lingkungan masyarakat golongan menengah ke atas yang secara
ekonomi bisa dikatakan sangat mapan. Tidak jarang ditemui di kalangan
masyarakat umum, mahasiswa, artis, ulama bahkan para pejabat.
Muncul beberapa dugaan tentang alasan mengapa
nikah siri dengan segala resikonya masih juga dijadikan sebagai alternatif. Di
kalangan masyarakat yang awam hukum dan masyarakat ekonomi lemah, bisa
dimungkinkan karena keterbatasan dana sehingga dengan prosedur yang praktis
tanpa dipungut biaya, pernikahan bisa dilaksanakan. Bila dilihat dari aspek keagamaan,
ada kemungkinan karena khawatir melakukan dosa dan terjebak dalam perbuatan
maksiat, maka pernikahan dengan prosedur yang cepat dan dianggap sah telah
memberikan ketenangan batin tersendiri, masih banyak kaum perempuan yang
beranggapan bahwa nikah sirri adalah suatu bentuk tanggung jawab moral kaum
laki-laki yang bersedia melewati tahapan hubungan yang lebih serius.
Untuk sesaat memang
bisa dibenarkan, namun secara faktual proses pernikahan tersebut sangat tidak
adil, mengingat kaum perempuan akan menuai banyak permasalahan di kemudian
harinya. Sebaliknya, pihak laki-laki tidak menanggung beban , bahkan ketika dia
lalai akan kewajibannya sebagai seorang suami (secara sirri), tidak ada
tuntutan hukum.
Pernikahan sirri
juga memungkinkan timbulnya kekerasan terhadap perempuan. Karena merasa sudah
sah, seorang suami bebas melakukan apa
saja terhadap isterinya, dan bila terjadi kekerasan atau
pelanggaran-pelanggaran yang merugikan isteri, si isteri tidak bisa menuntut,
sementara suami mempunyai kebebasan secara hukum. Bahkan bila suami kemudian
menikah lagi secara resmi dengan perempuan lain, isteri tidak bisa berbuat
apa-apa. Hal itu tentu sangat merugikan pihak perempuan. Ketika perempuan
merelakan dirinya dinikahi secara siri, otomatis dia menyerahkan dirinya hidup
tanpa perlindungan hukum, sedangkan pihak suami hampir tidak mempunyai kerugian
apapun[8].
Secara hukum:
a). Pihak
isteri tidak di anggap sebagai isterinya
yang sah. Akibatnya, suami mempunyai kebebasan secara hukum. Termasuk bila
kemungkinan terjadi pengingkaran atas perkawinannya, atau suami menikah lagi
secara tercatat dengan perempuan lain, sebagai isteri tidak bisa menuntut
apa-apa.
b). Pihak isteri tidak bisa memperoleh perlindungan hukum
bila terjadi kekerasan dalam rumah tangga. Karena secara hukum status suami
yang terbebas dari tanggungjawab, maka bukan tidak mungkin jika pernikahan siri
membuka peluang terjadinya kekerasan terhadap isteri. Bila terjadi kekerasan
terhadap isteri, baik kekerasan fisik, psikhis maupun kekerasan seksual, maka
isteri tidak bisa mendapatkan perlindungan hukum sesuai yang tercantum dalam UU
No.23 Tahun 2004 tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
c). Pihak isteri
tidak berhak memperoleh harta gono gini bila terjadi perpisahan atau
perceraian. Kalau mungkin isteri bisa mendapatkan sebagian harta suami,
semata-mata berdasarkan pemberian suami
bukan atas dasar pembagian yang sesuai dengan hak yang seharusnya ia
dapatkan.
d). Perempuan tidak
berhak atas harta benda milik suaminya ( hak nafkah dan hak warisan ), jika
suami meninggal dunia. Jika posisinya sebagai isteri kedua, maka hak waris
jatuh ketangan isteri dan anaknya yang sah. Hal tersebut bisa dipahami, karena
secara hukum pernikahan dianggap tidak pernah terjadi.
e). Semua dampak
hukum yang menjadi beban isteri di atas juga berlaku pada anak yang dilahirkan
atas pernikahan siri tersebut. Bagaimana akan menuntut hak nafkah, hak
pendidikan, hak perwalian maupun hak waris jika secara hukum anak tersebut
dianggap tidak pernah ada. Untuk mengurus akta kelahiran dibutuhkan surat
nikah, sementara surat nikah tidak pernah dibuat. Kesulitan-kesulitan anak
tersebut merupakan kesulitan berlipat bagi ibu, karena siapa lagi yang akan
mengurus masalah prosedural anak jika suami meninggal, pergi tanpa keterangan yang jelas, atau
menikah lagi dengan wanita lain. Status tersebut
hanya mempunyai hubungan perdata dengan si Ibu. Bila ada akta kelahiran, statusnya
dianggap sebagai anak ibu, sehingga hanya dicantumkan nama ibu tanpa nama ayah.
Anak juga tidak berhak atas biaya kehidupan, biaya pendidikan dan hak waris
dari ayahnya.
f). Dampak yang
mengkhawatirkan lagi adalah bila
kemudian pasangan nikah siri berusaha untuk memalsukan data-data, misalnya akta
nikah dan akta kelahiran anak. Hal ini bukan tidak mungkin terjadi, karena
untuk mengurus itsbat baik itsbat nikah maupun pengakuan anak tentunya
membutuhkan waktu yang cukup lama. Sementara tidak bisa diprediksikan bila
suatu saat keluarga tersebut membutuhkan dokumen itu secepatnya untuk
kepentingan yang sangat penting. Bila sudah seperti ini, perlu ada revisi
kembali tentang keabsahan nikah siri, supaya tidak terkesan menghindari perbuatan
dosa dengan menambah dosa-dosa yang lain yang lebih besar.
Secara Sosial.
a). Perempuan biasanya akan sulit sekali bersosialisasi dengan masyarakat sekitar.
Anggapan tinggal serumah tanpa ikatan yang sah akan berdampak kepada berbagai
macam prasangka negatif dari masyarakat, yang ujung-ujungnya merendahkan
perempuan. Hamil sebelum nikah atau isteri simpanan, atau prasangka-prasangka
lain yang mengarah kepada pelecehan status perempuan. Sementara lelaki
terkadang malah dianggap sebagai penyelamat, jantan karena bisa melakukan
poligami, punya daya tarik karena banyak perempuan mau menjadi isterinya, dan
anggapan-anggapan lain yang sangat patriarkhis dan kurang masuk akal.
b). Perempuan sebagai pihak yang seharusnya
dilindungi, justru dirugikan dari berbagai aspek. Secara hukum perempuan sudah
tidak diakui, ditambah dengan beban phikhis opini masyarakat yang
memposisikannya secara tidak adil. Belum lagi kalau suami memperlakukannya
secara tidak adil, beban itu akan menjerat terus sampai suami bersedia menceraikan,
atau justru mengitsbatkan pernikahannya.
c). Beban sosial
tersebut pastinya juga akan berpengaruh kepada jiwa anak. Seorang anak akan
merasa tersisih dari pergaulan bila statusnya sebagai anak kandung mulai
dipertanyakan. Apalagi di saat-saat usia sekolah. Ketidak jelasan statusnya
secara hukum tersebut, mengakibatkan hubungan antar ayah dan anak tidak kuat,
sehingga bisa saja sewaktu-waktu ayahnya menyangkal bahwa anak tersebut adalah
anak kandungnya[9].
Tidak semua masyarakat bisa memaklumi,
karena latar belakang dilangsungkannya pernikahan siri memunculkan pandangan
negatif misal anggapan hidup serumah tanpa ikatan yang resmi karena
perselingkuhan, poligami, tidak disetujui orang tua, terlanjur hamil dan
sebagainya. Meskipun secara riil yang melakukan pernikahan sirri adalah
sepasang laki-laki dan perempuan, namun tak urung juga opini-opini tersebut ditujukan kepada kaum
perempuan. Anggapan masyarakat tentang isteri kedua, perempuan simpanan,
kehamilan tak diinginkan dan sebagainya adalah stereotip yang seakan-akan hanya
perempuanlah yang bersalah. Oleh karenanya, selama masih ada jaminan hukum yang
bisa memberi perlindungan kepada kaum perempuan, kenapa tidak dimanfaatkan.
C.Hukum Nikah Sirri
1.
Menurut
Hukum Islam
Rukun nikah menurut Mahmud Yunus, adalah
bagian dari hakikat perkawinan yang wajib dipenuhi. Kalau tidak dipenuhi pada
saat akad berlangsung, perkawinan tersebut dianggap batal, dan menurut versi
As-Syafi’i yang kemudian diadaptasi oleh Kompilasi Hukum Islam (pasal 14 KHI)
rukun nikah terdiri atas adanya lima macam:
a.
Calon
suami
b.
Calon
istri
c.
Wali
nikah
d.
Dua
orang saksi
e.
Ijab
dan kabul
Apabila syarat dan rukun nikah yang
ditentukan oleh agama Islam apabila telah dipenuhi, maka perkawinan tersebut
telah dinyatakan sah menurut agama Islam[10].
2. Menurut
Undang-Undang No 1 Tahun 1974
Pencatatan perkawinan yang dibuktikan
dengan akta otentik berupa akta nikah bertujuan agar terjamin ketertiban
perkawinan bagi masyarakat Islam sehingga setiap perkawinan harus dicatat.
Pencatatan perkawinan dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah sebagaimana diatur
oleh Undang-Undang No. 22 Tahun 1946 jo. Undang-Undang No. 32 Tahun 1954 pasal
6 ayat (1) mengenai pengertian pencatatan dimaksud dalam pengertian bahwa
setiap perkawinan harus dilangsungkan di hadapan dan di bawah pengawasan
Pegawai Pencatat Nikah. Oleh karena itu, dalam pasal 6 ayat (2) KHI disebutkan
bahwa perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan Pegawan Pencatat Nikah tidak
mempunyai kekuatan hukum.
Pasal 7 ayat (1) KHI menyebutkan bahwa
perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan akta nikah yang dibuat oleh Pegawai
Pencatat Nikah. Dengan demikian, mencatatkan perkawinan merupakan kewajiban
bagi mereka yang melangsungkan perkawinan.
Sehubungan dengan hal tersebut kaitannya
dengan perkawinan siri merupakan bentuk perkawinan yang tidak dicatatkan
sehingga tidak bisa dibuktikan dengan akta otentik berupa akta nikah yang
menyebutkan telah terjadi perkawinan yang demikian ini tidak mempunyai kekuatan
hukum.[11]
Pencatatan nikah merupakan salah satu yang harus dipenuhi dalam hal
anjuran pemerintah, ulil amri, yang dalam hal ini mencakup urusan duniawi.
Sementara beberapa kalangan masyarakat muslim, lebih memandang bahwa keabsahan
dari sisi agama, lebih penting karena mengandung unsur ukhrawi yang lebih
menentramkan, sementara sisi duniawi tadi adalah unsur pelengkap yang bisa
dilakukan setelah unsur utama terpenuhi. Dalam hal ini unsur duniawi,
yaitu nikah dengan dicatatkan adalah
langkah kedua setelah ketenangan batin didapatkan. Karna memang Sebenarnya
dalam kedua sumber hukum ini sama-sama bertujuan memberikan kemudahan dan
kamaslahatan masyarakat.
Dari beberapa uraian yang telah kami paparkan,
dapat di ambil sebuah hukum baru tentang nikah sirri. Menurut kaidah fiqhiyah
yang berbunyi
:
درء المفاسد مقدم
على جلب المصالح[12]
”Menolak
kerusakan itu di dahulukan dari pada menari kebaikan"
Disini kita mengetahui bahwa di dalam nikah sirri
banyak sekali dampak buruk yang akan terjadi, meskipun hukum pernikahan
tersebut adalah sah jika di tinjaun
dari syarat dan rukunnya, padahal
kebaikan yang di kemukakan oleh para pelaku nikah sirri hanya berupa sebuah
keinginan yang tak berdasar, tak sebanding dengan dampak apa yang nantinya akn
terjadi di kemudian hari. Oleh sebab itu nikah sirri menjadi sebuah perkara yang
di hukumi tidak boleh (haram).
BAB III
PENUTUP
A.Kesimpulan
1.
Nikah siri adalah pernikahan yang sah
secara agama namun tidak dicatatkan dalam lembaga pencatatan negara. Banyak
faktor yang menyebabkan seseorang tidak mencatatkan pernikahannya di lembaga
pencatatan sipil negara. Ada yang karena faktor biaya, alias tidak mampu
membayar administrasi pencatatan; ada pula yang disebabkan karena takut
ketahuan melanggar aturan yang melarang pegawai negeri nikah lebih dari satu; dan
lain sebagainya.
2.
Nikah sirri akan menjadi bahan pembicaraan, karena
dampaknya yang sangat merugikan bagi kaum perempuan.
3.
Hukum nikah sirri adalah harom, karena banyak mudzorot
atau kejelekan yang dapat terjadi.
B.SARAN
Sebagai
penulis kami mengharapkan kepada pembaca agar bisa lebih berhati-hati dalam melak sanakan suatu pernikahan. Agar nantinya suatu ikatan tersebut bisa
menjadikan angota keluarganya tentram dan bahagia.
Pada hakikatnya pernikahan merupakan ibadah,
jangan sampai karena tidak dicatatkan, akan mendatangkan banyak
kemudharatan.
Ketika
pemimpin telah telang memerintahkan sesuatu, kita harus melaksanakannya, selama
perintah tersebut idak pada hal-hal yang eksesnya menjurrus pada maksiat. Perintah
berrupa pencatatan perkawinan ini bahkan mendatangkan banyak manfaat.
Sebagaimana kaidah fiqh:
تصرف الإمام على الرعيّة منوط بالمصلحة
“Ketentuan
pemimpin kepada umatnya itu harus berorientasi pada kemaslahatan”
DAFTAR PUSTAKA
Adib,
Bisri, al faraidul Bahiyyah, Kudus: Risalah qawa-id fiqh, 2002.
Anderson, J.N.D, Hukum
Islam di Dunia Modern, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1994.
Basyir, Ahmad Azhar, Hukum Perkawinan Islam, Yogyakarta: UII Press, 1999.
Bisyri, Mohammad Hasan, Problematika Nikah Sirri dalam Negara Hukum Jurnal Hukum Islam, STAIN Pekalongan, Vol. 2, No.1, April
2004.
Hadikusuma, Hilman, Hukum Perkawinan Indonesia, Bandung: Mandar
Maju, 1990.
Imam Asy Syaukaniy, Nailul Authar VI, Beirut: Darul fikr, 1973.
Yunus, Mahmud, Hukum Perkawinan dalam Islam Menurut Mazhab
Syafi’I, Hanafi, Maliki dan Hanbali, Jakarta: Hidakarya Agung, 1996.
Yunus, Mahmud,
Hukum Perkawinan dalam Islam Menurut
Mazhab Syafi’I, Hanafi,Maliki dan Hanbali ,Jakarta ,Hidakarya Agung, 1996.
Zuhaili, Wahbah, Al-Fiqh al-Islam wa adillatuhu, Beirut: Dar-al-Fikr,1989.
anak yang
dilahirkan dianggap sebagai anak tidak sah. Konsekuensinya, anak
[2]
Mahmud
Yunus, Hukum Perkawinan dalam Islam
Menurut Mazhab Syafi’I, Hanafi, Maliki dan Hanbali, Jakarta: Hidakarya
Agung, 1996, Hal 28.
[5] Imam Asy Syaukaniy, Nailul Authar,
Beirut: Darul 1973, 230.
[6] Ibid.
[7] Ibid., 231.
.
[8] Mohammad Hasan Bisyri, Problematika Nikah Sirri dalam Negara Hukum Jurnal Hukum Islam, STAIN Pekalongan, Vol. 2, No.1, April
2004
[9] http://72.14.235.132/search?q=cache:_v4Hb--zmmQJ:lkis.or.id/index.php%3Foption%3Dcom_content%26task%3Dview%26id%3D45%26Itemid%3D7+kasus+nikah+siri&hl=en&ct=clnk&cd=2
[10]
Mahmud
Yunus, Hukum Perkawinan dalam Islam
Menurut Mazhab Syafi’I, Hanafi, Maliki dan Hanbali, Jakarta: Hidakarya
Agung, 1996, hal 28.
[11] Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia,Bandung:
Mandar Maju, 1990, hal 17.
[12]
Bisri Adib ,al faraidul Bahiyyah,
Kudus, Risalah qawa-id fihq 2002 hal 37
0 Response to "Polemik Nikah Siri"
Post a Comment