Seiring berhgulirnya hari, aku pun semakin jauh dengan kehidupanku, dan kau
juga semakin jauh dari kehidupanmu. Saat itu hanya ada kata “kita” yang kurasa
cukup relevan. Kita berdua sudah jauh melangkah berdua. Akan sangat terasa aneh
jika aku tertawa tanpamu, apalagi menertawakanmu. Padahal aku biasanya aku
melakukannya pada setiap orang, tapi kau berbeda, entah apa yang membuatmu
menjadi terasa begitu berbeda. Istimewa, mungkin itu sudah mendefinisikan
segalanya.
Mungkin aku benar jika berpendapat bahwa aku semakin jauh dengan
kehidupanku. Salah satu buktinya adalah aku semakin jarang berkumpul bersama
sahabat dan teman-temanku. Hampir setiap waktu ku lewatkan beramamu. Hubunganku
dengan mereka semakin renggang. Bahkan, yang lebih parah, hubunganku dengan
saudara dan para sepupuku juga menadi berjalan tidak semulus dulu, sebelum kau
datang. Tapi semua itu tak jadi masalah buatku saat itu. Karena bagiku kau bisa
menggantikan posisi mereka semua, meski pada kenyataannya tidak demikian.
Dan yang aku tahu, saat itu mereka merindukanku yang dulu. Merindukan aku
sebelum semua ini dimulai. Merindukan aku yang biasa tertawa bersama mereka,
aku yang biasa duduk dan bercanda dengan mereka. Dalam beberapa momen,
sebenarnya aku sangat merindukan mereka. Sangat. Aku berbohong jika aku
mengatakan tidak rindu, meski di sisi lain aku berpikir bahwa kau bisa
menggantikan posisi mereka. Tapi tetap saja, rasa rindu pada sahabat dan
keluargaku tak bisa dipadamkan. Aku benar-benar merindukan keberadaan mereka di
sisiku. Namun, keadaan tak lagi seperti dulu, aku bahkan saat itu telah lupa
bagaimana cara untuk menghabiskan waktu bersama mereka. Jika ku ingat kembali
memori itu, pasti air mataku akan meleleh dengan sendirinya, menyesal, sedih
dan juga rindu yang teraduk dalam duka.
Hal yang tidak jauh berbeda kurasa juga terjadi padamu. Kurasa kita seri
saat itu. Kau juga tidak memenangkan permainan itu. Kita sama-sama tenggelam
dan hanyut. Karena pada saat itu, kita memang lebih sering berdua daripada
bergumul dalam keramaian manusia. Kau dan aku semakin jarang berada di rumah.
Karena pada saat itu ‘you’re my home, and i’m your home’. Jadi dimanapun
kita berada dan bersama, maka itulah rumah kita, rumahku dan rumahmu. Aku
bahkan tak lagi ingat, kapan kita tidak bersama saat itu, bahkan seringkali
kita menghabiskan sepanjang malam hanya untuk membicarakan hal-hal tidak
terlalu penting. Bercakap melalui videocall, atau telepon. Ya, yang kuingat
hanya itu. Tak ada waktu untukmu, juga untukku, tapi untuk kita.
Bahkan, dalam kesendirianku di ruang yang sangat gelap, tanpa cahaya
pelita, aku masih dapat merasakan kehadiranmu. Hingga dalam keadaan mata
tertutup, aku akan kecewa jika kau meninggalkanku karena mengira aku tak
mengetahuinya. Kau salah, kau benar-benar salah.
Entahlah, semua saat itu terasa begitu aneh dan berbeda. Aku tak bisa
mendeskripsikan anomali suasana yang terjadi saat itu, apakah dunia berubah
atau akukah yang berubah. Entahlah, hingga saat ini aku juga belum bisa
menjawabnya. Dan mungkin tak akan pernah bisa. Apalagi, saat ini aku sudah tak
ingin untuk mendeskripsikan semua itu. Tak ingin lagi, setidaknya dengan cara
yang sama.
Darah semerah mawar
Persembahan, pengorbanan, atau,,
Entahlah, semua jalan terlihat gelap
Bahkan pelita indahmu justru menyilaukan
Mata kecil ini hanya mengatup
Meraba dengan tangan kecilnya
Kembali tergores dengan luka
Terkucur kembali
Darah semerah mawar
to be continued...
0 Response to "Good Bye Masa Lalu (Part 4)"
Post a Comment