Mutiara Hati Penjara Suci



Malam adalah selimut yang diciptakan Tuhan untuk menenggelamkan tiap hamba-Nya dalam mimpi dan tidur mereka. Tak terkecuali dia, hanyut dalam pejaman matanya. Di atas matras sederhana yang hanya cukup untuk dirinya seorang juga dalam dekapan selimut tipis, ia hanyut dalam tidurnya. Garis kerupawanan mengalir di wajahnya, meski tak terlalu kentara. Namun, itulah yang membuat ia menarik.
Khoirul Basyar Adz-Dzakiy, itulah nama yang diberikan oleh orang tuanya. Tak banyak yang tahu bahwa orang tuanya adalah keturunan Rasululloh SAW. Mungkin karena garis darah itulah kerupawanan memancar diwajahnya. Zakiy, begitu biasanya orang disekitarnya memanggil.
Kini tidurnya harus berakhir, gema azan subuh telah merayapi setiap jengkal pesantren yang kini menjadi rumah keduanya, rumah tempat mencari kebeningan jiwa. Matanya pun kini terbuka, panggilan Allah telah membawanya kembali pada alam sadar. Ia pun segera berdoa seraya bersyukur masih diberi kesempatan untuk tetap menghirup napas.
Ia pun bergegas ke kamar mandi, membersihkan badan dan bersiap untuk jama’ah subuh. Seperti biasa, ia harus cepat sebelum mendapat jatah antri. Begitulah kehidupan pesantren, semua harus bersama, dan saling menghargai hak orang lain.
Usai membersihkan badannya ia segera menuju masjid untuk menunggu jama’ah subuh sambil membaca Al-Qur’an, satu kebiasaan yang jarang ia lewatkan. Meski di usianya yang masih sangat belia, tampaknya kebiasaan terpuji itu telah melekat padanya, mungkin itu adalah anugrah tersendiri baginya.
30 menit tidak terasa telah berlalu. Masjid yang awalnya telah lengang, kini telah berubah menjadi lautan santri yang bersahut-sahutan dengan bacaan Al-Qur’annya masing-masing. Tiba-tiba suasana berubah hening, satu tanda bahwa jama’ah akan segera didirikan. Tak berselang lama iqomah pun menggema, dan dengan serentak, para santri, tak terkecuali Zakiy, merapatkan barisan shof mereka. Seperti barisan perang. Ini memang perang, perang dengan hawa nafsu. Begitulah salah satu filosofinya.
Jama’ah berlangsung dengan khusyu’ dan khidmat. Bacaan aurod pun menjadi suatu keharusan ketika jama’ah subuh telah selesai. Di pesantren ini, dan mayoritas pesntren di Indonesia, aurod dan jama’ah adalah satu paket yang tak bisa dipisahkan. Meski tak ada salahnya untuk membaca aurod secara individu, namun membacanya bersama dinilai akan membawa semangat tersendiri bagi para pembacanya.
Aurod yang dibaca setelah jamaah subuh di pesntren ini memang cukup panjang. Ketika mentari mulai mengintip dari ufuq timur, wirid ini baru saja selesai. Namun sebelum sempat beristirahat setelah jama’ah, dentuman bel telah menggema di seluruh penjuru pesntren. Kegiatan selanjutnya akan segera dimulai. Kuliah subuh di aula pesantren. Para santri pun berbondong menuju aula dengan kitab yang telah mereka persiapkan ketika akan berjamaah. Memang beginilah kehidupan pesantren, harus serba praktis dan cepat. Karena ketika telat untuk hadir di kegiatan. Hukuman telah menunggu.
Dalam perjalanan, Zakiy bertemu salah satu sahabat karibnya
“Zakiy, tunggu, aku bareng!!” begitu serunya
Dengan cepat Zakiy pun menoleh, seperti dugaannya, itu suara Ni’am, Khoirun Ni’ami.
“Eh, gue bosen lama-lama disini” ni’am memulai
“Bosen kenapa?” timpal zakiy datar.
“Ya Allah, loe sadar gak sih? Kegiatan kita tiap hari Cuma gini-gini doang. Monoton. Butuh refresh lah sekali-kali. Ada acara apa gitu..”
“Alah, itu perasaan loe aja. Gue mah biasa aja”
“Gila loe! Biasa aja kata loe? Gak lah”
Tiba-tiba suara yang bersumber dari aula telah terdengar.
“Gawat ni, ayo cepet, sebelum ada ta’ziran” ucap Zakiy spontan tanpa membalas kalimat Ni’am sebelumnya.
Merekapun bergegas, namun apa boleh buat, tulisan berdiri 15 menit telah terpampang jelas. Dan merekapun akhirnya harus kuliah subuh sambil berdiri selama 15 menit. Itulah kehidupan pesantren. Kedisiplinan tampaknya adalah sebuah harga mati.

Related Posts:

0 Response to "Mutiara Hati Penjara Suci"

Post a Comment