(dikutip dari m.antaranews.com/…/menpera-targetkan-pembangunan-999-rusuna…)
Berdsarkan data di situs resmi Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, tercatat ada 100 perguruan tinggi negeri, dan 3078 perguruan tinggi swasta yang tersebar diseluruh Indonesia, mulai dari Aceh hingga Papua.
(dikutip dari m.kompasiana.com/…/statistika-perguruan-tinggi-di-indonesia…)
Saat ini jumlah mahasiswa di seluruh Indonesia berjumlah sekitar 4.273.000 orang.
(dikutip dari m.jpnn.com/news.php?id=145983)
Membaca beberapa kutipan di atas, rasanya memang
cukup mengkhawatirkan. Pasalnya, dari data yang ada pada beberapa kutipan
diatas menyatakan bahwa pemuda zaman sekarang yang notabene 5 sampai 10 tahun
mendatang akan duduk di kursi pemerintahan Indonesia lebih condong untuk
mengenyam pendidikan formal saja, tanpa memperdulikan pendidikan non-formal
semacam pesantren. Mereka terdoktrin bahwa hanya kalangan mahasiswa saja yang
mampu bertahan di zaman global seperti saat ini. Sehingga menimbulkan pemikiran
bahwa kalangan yang tidak duduk di bangku kuliah, termasuk kaum sarungan yang
identik dengan para pelajar di pesantren, hanya akan menjadi kaum marjinal yang
tidak penting. Dan bahkan kaum sarungan sendiri sering diberi label kaum
primitif, kampungan dan ortodoks.
Hal ini sangat memprihatinkan sekaligus mengkhawatirkan, karena jika hal ini dibiarkan terus berlarut-larut, posisi pemerintahan yang selayaknya diduduki kaum sarungan yang berlatar belakang pesantren akan diduduki oleh kaum perkuliahan saja. Hak pemerintahan untuk kaum sarungan ini bukannya tanpa alasan. Kaum sarungan lebih berhak mendapat posisi di pemerintahan karena mereka adalah kalangan yang mendapat pendidikan paling majemuk dibanding kalangan terpelajar lainnya. Selain itu, kaum yang hidup di pesantren juga memiliki sifat yang kreatif dan dinamis, yang akan menjadi bekal penting bagi aparat yang menjalankan roda pemerintahan. Ditambah lagi, sejarah Indonesia mencatat bahwa kaum sarungan memiliki andil yang besar dalam proses perjuangan meraih dan mempertahankan kemerdekaan Bangsa Indonesia
Pendidikan majemuk, kurikulum khas pesantren
Pesantren menyajikan kurikulum pendidikan majemuk yang dibutuhkan santri untuk menjadi seorang aparat pemerintahan yang mampu menciptakan baldatun thoyyibatun wa robbun ghofur. Hal ini disebabkan pesantren selalu menjaga keseimbangan antara IQ (Intelligence Quotient/ kecerdasan intelektual), EQ (Emotional Quotient/kecerdasan emosional) serta SQ (Spiritual Quotient/kecerdasan spiritual). Pesantren tidak menekankan pada salah satu saja dari tiga aspek kecerdasan tersebut, karena memang kecerdasan yang utuh merupakan keseimbangan antara IQ, EQ, dan SQ. Hal ini dibuktikan dengan sajian kurikulum pesantren, yakni tentang kajian kitab-kitab karya ulama' salaf, yang berguna untuk mengasah kecerdasan intelektual para santri, ditambah lagi dengan dukungan lingkungan multikultural yang bermanfaat dalam peningkatan kepekaan santri pada lingkungan yang dapat memacu perkembangan kecerdasan emosional santri, serta bimbingan spiritual oleh para kyai untuk mencapai kecerdasan spiritual yang tinggi. Hal ini sangat bertolak belakang dengan kebanyakan lembaga pendidikan yang melulu menggenjot para peserta didiknya untuk mencapai IQ yang luar biasa, namun lemah pada dua aspek kecerdasan yang lain.
Penyeimbangan tiga aspek kecerdasan yang dilakukan oleh pesantren ini bertujuan untuk menciptakan individu yang siap menghadapi berbagai kondisi tanpa merugikan pihak lain. Jika tiga aspek kecerdasan ini tidak bisa seimbang, hanya akan menciptakan individu yang rentan dan jika pun ia mampu bertahan itupun melalui jalan yang merugikan orang lain. Pasalnya, jika seseorang yang unggul dalam IQ saja sedang lemah dalam EQ dan SQ, ia tidak akan segan-segan melakukan tindakan penipuan semacam korupsi, nepotisme, dan lain sebagainya, yang dapat merugikan banyak kalangan dan hanya mementingkan dirinya sendiri. Sebaliknya jika seseorang unggul dalam EQ saja, namun lemah dalam IQ dan SQ ia akan lebih condong untuk menjalankan aktivitas yang menurut norma sosial baik akan tetapi sangat rendah menurut norma religi serta kurang berkompeten sehingga tidak mampu bersaing dengan individu yang lain. Kemudian jika seseorang hanya mengedepankan SQ saja, ia hanya akan menjadi pribadi pasif yang sulit untuk mengejar individu-individu yang juga memiliki IQ tinggi serta menjadi pribadi yang tertutup dan sulit bekerjasama. Sehingga, bukanlah hal yang salah, ungkapan bahwa pendidikan pesantren lebih komplit dan majemuk.
Santri itu kreatif dan dinamis, bukan dogmatis
Pendidikan di pesantren juga menciptakan pribadi yang dinamis dan kreatif, yakni dua sifat yang sangat dibutuhkan para pemimpin bangsa Indonesia untuk mengelola kekayaan sumber daya yang ada. Ungkapan yang mengatakan bahwa santri adalah pribadi yang dogmatif merupakan sebuah distorsi yang perlu diluruskan. Apalagi ungkapan yang menyatakan bahwa santri hanya bisa bergelut dengan literatur klasik. Sebab, pada kenyataannya tidak sedikit santri yang sukses menjalankan mandat dari kyai untuk menjalankan roda ekonomi di berbagai bidang, seperti perdagangan, perkebunan, perikanan, dan lain sebagainya. Karena pada dasarnya, santri memang dicetak untuk menjadi individu yang mampu bertahan serta berkembang di berbagai medan dan kondisi, namun tetap dalam koridor syariat. Sehingga, di masa yang akan datang, santri mampu mengelola sumberdaya yang dimiliki, sesuai dengan aturan terbaik yang disyariatkan Alloh, seperti yang telah mereka pelajari selama di pesantren.
Santri, pejuang bangsa Indonesia, dulu, kini dan nanti
Ada satu fakta yang yang tidak boleh dilupakan oleh bangsa Indonesia, yakni santri juga punya andil besar dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia, karena dalam jiwa santri ditumbuhkan rasa hubbul wathon atau cinta tanah air yang mendorong mereka untuk terus memajukan bangsanya. Jiwa seperti inilah yang dibutuhkan oleh masyarakat Indonesia, jiwa patriotis yang ingin terus berjuang demi kemaslahatan bangsanya sendiri, bangsa Indonesia, bukannya jiwa hedonis yang hanya mengejar materi dan kekayaan semata tanpa memerdulikan moral, bukan pula yang lebih mengejar estetika daripada etika.
Dari uraian diatas kita dapat menarik benang merah, bahwa posisi pemerintahan memanglah hak yang seharusnya kita berikan pada kaum sarungan yang berlatar belakang pesantren, bukan pada kalangan meja kuliah saja. Dan tindakan yang perlu diambil adalah meluruskan pemikiran dan kecondongan pemuda Indonesia untuk tidak mendiskriminasi pendidikan non-formal semacam pesantren, karena meja kuliah tanpa basic pesantren bernilai zero, apalagi ditambah fakta bahwa pesantren lah yang secara nyata telah mampu mencetak kader-kader aparat pemerintahan yang layak dan berkompeten bagi bumi peritiwi, dan merupakan basic terbaik bagi aparat pemerintahan.
Hal ini sangat memprihatinkan sekaligus mengkhawatirkan, karena jika hal ini dibiarkan terus berlarut-larut, posisi pemerintahan yang selayaknya diduduki kaum sarungan yang berlatar belakang pesantren akan diduduki oleh kaum perkuliahan saja. Hak pemerintahan untuk kaum sarungan ini bukannya tanpa alasan. Kaum sarungan lebih berhak mendapat posisi di pemerintahan karena mereka adalah kalangan yang mendapat pendidikan paling majemuk dibanding kalangan terpelajar lainnya. Selain itu, kaum yang hidup di pesantren juga memiliki sifat yang kreatif dan dinamis, yang akan menjadi bekal penting bagi aparat yang menjalankan roda pemerintahan. Ditambah lagi, sejarah Indonesia mencatat bahwa kaum sarungan memiliki andil yang besar dalam proses perjuangan meraih dan mempertahankan kemerdekaan Bangsa Indonesia
Pendidikan majemuk, kurikulum khas pesantren
Pesantren menyajikan kurikulum pendidikan majemuk yang dibutuhkan santri untuk menjadi seorang aparat pemerintahan yang mampu menciptakan baldatun thoyyibatun wa robbun ghofur. Hal ini disebabkan pesantren selalu menjaga keseimbangan antara IQ (Intelligence Quotient/ kecerdasan intelektual), EQ (Emotional Quotient/kecerdasan emosional) serta SQ (Spiritual Quotient/kecerdasan spiritual). Pesantren tidak menekankan pada salah satu saja dari tiga aspek kecerdasan tersebut, karena memang kecerdasan yang utuh merupakan keseimbangan antara IQ, EQ, dan SQ. Hal ini dibuktikan dengan sajian kurikulum pesantren, yakni tentang kajian kitab-kitab karya ulama' salaf, yang berguna untuk mengasah kecerdasan intelektual para santri, ditambah lagi dengan dukungan lingkungan multikultural yang bermanfaat dalam peningkatan kepekaan santri pada lingkungan yang dapat memacu perkembangan kecerdasan emosional santri, serta bimbingan spiritual oleh para kyai untuk mencapai kecerdasan spiritual yang tinggi. Hal ini sangat bertolak belakang dengan kebanyakan lembaga pendidikan yang melulu menggenjot para peserta didiknya untuk mencapai IQ yang luar biasa, namun lemah pada dua aspek kecerdasan yang lain.
Penyeimbangan tiga aspek kecerdasan yang dilakukan oleh pesantren ini bertujuan untuk menciptakan individu yang siap menghadapi berbagai kondisi tanpa merugikan pihak lain. Jika tiga aspek kecerdasan ini tidak bisa seimbang, hanya akan menciptakan individu yang rentan dan jika pun ia mampu bertahan itupun melalui jalan yang merugikan orang lain. Pasalnya, jika seseorang yang unggul dalam IQ saja sedang lemah dalam EQ dan SQ, ia tidak akan segan-segan melakukan tindakan penipuan semacam korupsi, nepotisme, dan lain sebagainya, yang dapat merugikan banyak kalangan dan hanya mementingkan dirinya sendiri. Sebaliknya jika seseorang unggul dalam EQ saja, namun lemah dalam IQ dan SQ ia akan lebih condong untuk menjalankan aktivitas yang menurut norma sosial baik akan tetapi sangat rendah menurut norma religi serta kurang berkompeten sehingga tidak mampu bersaing dengan individu yang lain. Kemudian jika seseorang hanya mengedepankan SQ saja, ia hanya akan menjadi pribadi pasif yang sulit untuk mengejar individu-individu yang juga memiliki IQ tinggi serta menjadi pribadi yang tertutup dan sulit bekerjasama. Sehingga, bukanlah hal yang salah, ungkapan bahwa pendidikan pesantren lebih komplit dan majemuk.
Santri itu kreatif dan dinamis, bukan dogmatis
Pendidikan di pesantren juga menciptakan pribadi yang dinamis dan kreatif, yakni dua sifat yang sangat dibutuhkan para pemimpin bangsa Indonesia untuk mengelola kekayaan sumber daya yang ada. Ungkapan yang mengatakan bahwa santri adalah pribadi yang dogmatif merupakan sebuah distorsi yang perlu diluruskan. Apalagi ungkapan yang menyatakan bahwa santri hanya bisa bergelut dengan literatur klasik. Sebab, pada kenyataannya tidak sedikit santri yang sukses menjalankan mandat dari kyai untuk menjalankan roda ekonomi di berbagai bidang, seperti perdagangan, perkebunan, perikanan, dan lain sebagainya. Karena pada dasarnya, santri memang dicetak untuk menjadi individu yang mampu bertahan serta berkembang di berbagai medan dan kondisi, namun tetap dalam koridor syariat. Sehingga, di masa yang akan datang, santri mampu mengelola sumberdaya yang dimiliki, sesuai dengan aturan terbaik yang disyariatkan Alloh, seperti yang telah mereka pelajari selama di pesantren.
Santri, pejuang bangsa Indonesia, dulu, kini dan nanti
Ada satu fakta yang yang tidak boleh dilupakan oleh bangsa Indonesia, yakni santri juga punya andil besar dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia, karena dalam jiwa santri ditumbuhkan rasa hubbul wathon atau cinta tanah air yang mendorong mereka untuk terus memajukan bangsanya. Jiwa seperti inilah yang dibutuhkan oleh masyarakat Indonesia, jiwa patriotis yang ingin terus berjuang demi kemaslahatan bangsanya sendiri, bangsa Indonesia, bukannya jiwa hedonis yang hanya mengejar materi dan kekayaan semata tanpa memerdulikan moral, bukan pula yang lebih mengejar estetika daripada etika.
Dari uraian diatas kita dapat menarik benang merah, bahwa posisi pemerintahan memanglah hak yang seharusnya kita berikan pada kaum sarungan yang berlatar belakang pesantren, bukan pada kalangan meja kuliah saja. Dan tindakan yang perlu diambil adalah meluruskan pemikiran dan kecondongan pemuda Indonesia untuk tidak mendiskriminasi pendidikan non-formal semacam pesantren, karena meja kuliah tanpa basic pesantren bernilai zero, apalagi ditambah fakta bahwa pesantren lah yang secara nyata telah mampu mencetak kader-kader aparat pemerintahan yang layak dan berkompeten bagi bumi peritiwi, dan merupakan basic terbaik bagi aparat pemerintahan.
0 Response to "Konspirasi Putra Mahkota"
Post a Comment