Islam Nusantara: Potret Peradaban Madani



1400 tahun lebih telah berlalu sejak Islam muncul pertama kali dimuka bumi, tepatnya di kota suci Makkah Al-Mukarramah yang terletak di Jazirah Arab, barat daya benua Asia. Ajaran yang merupakan risalah dari Nabi terakhir, yakni Muhammad saw. Dalam perjalanannya islam secara signifikan terus meluas ke seluruh penjuru dunia, baik melalui proses invasi ataupun metode  yang lainnya. Beriringan dengan perluasan wilayah Islam tersebut, berbagai dinamika keagamaan muncul sebagai akibat dari proses perkembangan Islam menjadi peradaban madani di seluruh dunia sesuai dengan visi dan misinya yakni menjadi agama yang Rohmatan Lil ‘Alamin.
Pada kenyataanya, usaha untuk mewujudakan Islam sebagai agama yang Rohmatan Lil ’Alamin tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Berbagai rintangan siap menghentikan upaya para mujahid yang berjuang atas nama Allah demi mewujudkan visi dan misi Islam sebagai agama yang Rohmatan Lil ‘Alamin di seluruh penjuru dunia. Salah satu faktor penting yang menghambat upaya tersebut adalah variasi budaya dan basic seluruh  umat manusia di muka bumi. Apalagi, beberapa komunitas masyarakat di dunia memiliki tingkat fanatisme yang tinggi terhadap budaya mereka, sehingga akan cukup sulit untuk mengenalkan dan memasukkan budaya baru, seperti agama islam, dalam komunitas tersebut.
Namun, bagi Islam perbedaan budaya dan basic umat yang menjadi obyek dakwahnya tidaklah masalah, karena sesuai dengan visi dan misinya menjadi agama Rohmatan Lil ‘Alamin, islam adalah agama yang global, sehingga Islam akan relevan di berbagai belahahan dunia dengan karakter manusia yang sangat variatif. Apalagi, relevansi agama islam, yakni agama yang dibawa dan diajarkan oleh Rasulullah saw., sebagai agama bagi seluruh umat di dunia telah dipatenkan oleh Allah dalam firman-Nya, yakni dalam QS. Saba’ ayat 28, yaitu sebagai berikut:
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا كَافَّةً لِلنَّاسِ بَشِيرًا وَنَذِيرًا وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ
“Dan kami (Allah) tidak mengutusmu (Muhammad) melainkan kepada seluruh (umat) manusia sebagai pembawa kabar gembira (bagi orang mukmin) dan pemberi peringatan (bagi orang kafir). Hanya saja, kebanyakan manusia tidak mengetahuinya.” (QS. Saba’: 28)
Sehingga, dapat difahami bahwa agama islam, yakni risalah yang dibawa Rasulullah saw. akan relevan bagi seluruh umat manusia, menembus segala ras dan budaya.
Selain itu, Islam merupakan  agama yang bersifat Koperatif. Sifat Koperatif itulah yang menjadi katalis dalam proses penyebaran dan pengukuhan di seluruh penjuru dunia. Mengapa demikian? Dalam ilmu sosiologi, telah diperkenalkan istilah akulturasi yang secara sederhana dapat diartikan sebagai proses percampuran dua budaya. Dalam proses akulturasi, dibutuhkan karakter Koperatif oleh budaya terkait agar terbentuk jalan terbuka yang menjadi konjungsi di antara 2 budaya tersebut, yang nantinya konjungsi tersebut akan memunculkan koherensi di antara 2 budaya terkait, sebagai manifestsi dari keberhasilan proses akulturasi. Sehingga dapat diketahui bahwa dengan karakter Koperatif inilah Islam mudah berakulturasi dengan berbagai budaya, serta mudah beradaptasi dan diterima di seluruh belahan dunia.
Selain karakter koperatif, adaptif adalah karakter yang tidak bisa dilepaskan dari ajaran agama islam. Karakter adaptif yang dimiliki oleh islam adalah salah satu implikasi dari karakter koperatif, yakni salah satu karakter yang juga dimiliki oleh agama islam. Seperti yang telah diurai sebelumnya, karakter yang dimiliki oleh islam telah mampu mengantarkan islam sebagai agama yang mudah berakulturasi dengan berbagai budaya serta mudah beradaptasi dan diterima di seluruh penjuru dunia, menuju cita-citanya menjadi agama yang rohmatan lil ‘alamin. Dari karakter adaptif ini islam menjadi agama yang sangat kaya akan budaya akibat dari tingginya angka akulturasi. Dari karakter ini pula muncul sebuah slogan yang sangat populer di kalangan ahlus sunnah wal jama’ah, yakni:
المحافظة على القديم الصالح و الأخذ بالجديد الأصلح
            “Menjaga (budaya) klasik yang baik dan mengambil (budaya) baru yang lebih baik”
Karakter koperatif-adaptif islam juga tidak bisa dilepaskan dari nilai-nilai toleransi yang menjadi salah satu ruh dalam dunia religi islam. Nilai-nilai toleransi yang ditampakkan oleh islam melalui berbagai ajaran syari’atnya mengindikasikan bahwa islam adalah agama dinamis yang akan berkembang dan terus menerus relevan dengan berbagai keadaan. Karakter toleransi ini pula yang diamalkan dan ditunjukkan oleh para penganut agama islam. Sehingga, islam dengan mudah dapat diterima tanpa ada unsur paksaan, karena memang pada dasarnya islam lahir dengan kedamaian bukan dengan watak teroris yang menakutkan. Bahkan Allah telah berfirman dalam QS. Al-Baqoroh ayat 256, yakni:
لَا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ
            “Tidak ada paksaan dalam agama” (QS. Al-Baqoroh: 256)
Melihat kembali pada catatan sejarah Nusantara, ternyata nilai-nilai koperatif-adaptif  dan toleransi telah diimplementasikan secara nyata dalam penyebaran dan pengokohan agama Islam di bumi Nusantara oleh para pendakwahnya, yang lebih dikenal sebagai Wali Songo. Para Wali Songo lebih memilih  bersikap koperatif-adaptif  serta bertoleransi tinggi dalam metode dakwah mereka. Hal ini bukan tanpa alasan, adapatif, koperatif dan toleransi adalah tiga ruh utama yang menjiwai paham moderat (tawassuth) yang merupakan salah satu prinsip dalam ajaran Ahlus Sunnah Wal Jama’ah. Dengan sikap moderat inilah para Wali Songo mampu mengikis budaya-budaya non-Islam dari Nusantara dan bahkan dapat menyisipkan nilai-nilai keIslaman pada budaya yang telah ada. 
Jika diteliti lebih jauh lagi, sikap moderat yang didasari oleh koperatif, adaptif  dan toleransi merupakan teladan dari baginda Rosulullah SAW. Dalam perjalanan dakwahnya, beliau tidak pernah memberikan paksaan, bahkan Beliau hadir dengan cara yang begitu arif dan damai. Syari’at yang Beliau bawa pun juga hadir dengan penuh kearifan, sedikit demi sedikit mengikis budaya jahiliyah non Islam, tidak secara spontan menghapusnya, karena sesuai dengan fitroh manusia, segala hal akan menjadi berat dan menakutkan jika terjadi secara spontan, berbeda jika terjadi secara bertahap. Salah satu bukti konkrit yang menunjukkan kearifan Rasulullah saw. dan risalah yang Beliau bawa dalam menerapkan syari’at saat mengikirs budaya jahiliyyah non-islam adalah praktek naskh. Salah satu produk dari proses naskh adalah keharaman khomr (arak). Pada masa awal islam, khomr merupakan salah satu hal yang tidak bisa dipisahkan dari budaya jahiliyyah. Padahal, seperti yang diketahui saat ini bahwa khomr adalah hal yang diharamkan. Namun, keharaman khomr ini tidak diterapkan oleh syari’at secara spontan, melainkan dengan step by step (bertahap). Di antara ayat-ayat dalam Al-Qur’an yang menunjukkan kronologi penerapan hukum haram pada khomr adalah sebagai berikut:
Ayat pertama terletak pada QS. An-Nisa’ ayat 43, yakni:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَقْرَبُوا الصَّلَاةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَى حَتَّى تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ 
            “Wahai orang-orang yang beriman janganlah mendekati sholat sedangkan kamu dalam keadaan mabuk sehingga kamu sekalian mengetahui apa yang kamu sekalian katakan” (QS. An-Nisa’: 43)
Ayat ini merupakan ayat tentang khomr yang pertama kali diturunkan oleh Allah swt. Ayat ini hanya mengindikasikan keharaman khomr dalam sholat saja, sedangkan di luar sholat hukumnya masih halal. Kemudian disusul dengan ayat berikutnya yang menaskh ayat di atas, yang terletak pada QS. Al-Baqoroh ayat 219, yaitu:
يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ قُلْ فِيهِمَا إِثْمٌ كَبِيرٌ وَمَنَافِعُ لِلنَّاسِ وَإِثْمُهُمَا أَكْبَرُ مِنْ نَفْعِهِمَا
            “Engkau (Muhammad) akan ditanyai mengenai khomr dan judi, maka katakanlah: keduanya mengandung dosa yang besar dan (juga mengandung) kemanfaatan bagi manusia. Adapun dosanya lebih besar daripada kemanfaatannya” (QS. Al-Baqoroh: 219)
Dalam ayat kedua ini, Allah swt. menyampaikan bahwa meminum khomr itu digolongkan perbuatan dosa, sehingga beberapa sahabat sudah tidak lagi meminum khomr meski beberapa yang lain masih meminumnya. Kemudian ayat inipun juga dinaskh dengan ayat yang terakhir turun mengenai hukum khomr, yang terletak dalam QS. Al-Maidah ayat 90, yaitu sebagai berikut:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنْصَابُ وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
            “Wahai orang-orang yang beriman, khomr, judi, berhala, dan mengundi dengan panah hanyalah sebuah dosa yang termasuk amal syaithon. Maka jauhilah agar kalian beruntung” (QS. Al-Maidah: 90)
Ayat terakhir ini dengan tegas memberikan vonis hukum haram kepada khomr, sebagai tahap terakhir dalam penerapan hukum haram khomr yang dilakukan secara bertahap atau step by step. Selain itu, langkah step by step ini juga terbukti lebih ampuh dan lebih mengena pada sasaran daripada cara yang spontan. Setidaknya, ada 2 hal yang mendasari hal tersebut, yaitu:
a.       Suatu hal yang terjadi secara bertahap tidak akan memberatkan, sehingga tidak akan menyebabkan guncangan mental yang memiliki stigma negatif.
b.      Suatu hal yang terjadi secara bertahap akan lebih menancap di dalam hati daripada sesuatu yang datang secara spontan. Seperti telah diketahui, bahwa kebanyakan hal yang datang secara cepat maka juga akan hilang secara cepat, berbanding lurus dengan cara kedatangannya.
Sehingga, bukanlah suatu kesalahan, menghadirkan islam serta menerapkan syari’atnya di bumi Indonesia, khususnya di tanah Jawa, yang pada saat itu masih sarat dengan budaya mistik dan kejawen, dengan cara yang sama yang dilakukan oleh Rasulullah SAW saat menghadirkan Islam di Jazirah Arab yang sarat akan budaya jahiliyyah.
Disisi lain, syari’at Rasulullah saw. pun juga tidak sepenuhnya menghapus budaya jahiliyyah dan budaya agama sebelumnya. Hal ini terbukti dari beberapa syari’at Rasulullah saw. yang mengadopsi budaya-budaya yang telah ada sebelumnya, dengan menyisipkan nilai keislaman kedalamnya seperti Thowaf, Sa’i dan lain sebagainya. Bahkan adopsi syari’at ini juga termaktub dalam kitab suci Al-Qur’an, yakni dalam QS. Al-Baqoroh ayat 158, yaitu:
إِنَّ الصَّفَا وَالْمَرْوَةَ مِنْ شَعَائِرِ اللَّهِ فَمَنْ حَجَّ الْبَيْتَ أَوِ اعْتَمَرَ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِ أَنْ يَطَّوَّفَ بِهِمَا وَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَإِنَّ اللَّهَ شَاكِرٌ عَلِيمٌ
“Sesungguhnya (bukit) Shofa dan (bukit) Marwah termasuk tanda-tanda (kebesaran) Allah, siapa saja yang berhaji atau berumroh, maka tidak ada dosa baginya untuk bethowaf dengan kedua (bukit) tersebut. Dan siapa saja yang melakukan ibadah sunnah dengan (perkara) yang baik, sesungguhnya Allah adalah Dzat yang Maha Bersyukur lagi Maha Mengetahui” (QS. Al-Baqoroh: 158)
Lantas hal ini, yakni adopsi budaya dan memasukkannya sebagai syari’at,  tidaklah menjadikan islam sebagai agama yang aneh, namun justru membuatnya menjadi istimewa dan berbeda dari agama-agama lain yang cenderung statis-dogmatis. Hal ini pulalah yang menjadi ibroh bagi para Wali Songo, yang notabene merupakan warotsatul anbiya’, untuk mengadopsi budaya setempat seperti adat telung dinanan, petang puluhan, tingkepan, wayang dan lain sebgainya dan menyisipkan kedalamnya nafas syari’at islam.
Pada perkembangannya, tongkat dakwah Islam yang dimulai oleh Wali Songo terus-menerus berestafet dari generasi ke generasi. Metode dan sikap moderat Wali Songo secara terus-menerus diwariskan dan diamalkan oleh generasi-generasi berikutnya. Metode Wali Songo inipun terus-menerus menguat seiring berjalannya waktu, sehingga metode dan sikap inipun menjadi sebuah karakter tersendiri bagi kehidupan religi Islam di indonesia, yang biasanya dilabeli dengan “Islam Nusantara”.
Pada porsi realita, Islam Nusantara hadir dengan memberikan warna berbeda yang kuat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Asas toleransi yang menjadi salah satu pilar pembentuk Islam Nusantara, menjadi pendorong bagi umat islam di Indonesia untuk menghormati berbagai keyakinan yang ada di Indonesia. Islam Nusantara juga memberikan pemahaman bahwa keutuhan, keamanan, dan ketertiban sebuah negara adalah poros untuk mencapai kehidupan yang baik dan layak, entah itu kehidupan religi, sosial, ekonomi, ataupun yang lainnya. Sehingga, Islam Nusantara lebih memilih untuk menjamin keamanan setiap individu yang berdomisili di Indonesia, meski tidak memiliki keyakinan yang sama, daripada menyulut konflik demi mewujudkan kepentingan sepihak. Jalur yang dipilih oleh islam nusantara ini pun juga bukan tanpa dasar. Opsi yang dipilih oleh Islam Nusantara ini diilhami dari keteladan Rasulullah saw. saat memimpin kota Yatsrib, yang sekarang lebih dikenal dengan kota Madinah Al-Munawwaroh. Dalam menjalankan roda kepemimpinan Yatsrib, Beliau memilih untuk menjaga perdamaian dengan kaum Yahudi daripada berkonflik dengan mereka. Bahkan, beliau membuat kesepakatan dengan mereka, yang termaktub dalam piagam Madinah, untuk bekerjasama dalam menjaga keamanan dan keutuhan kota Yatsrib. Berikut ini adalah beberapa kutipan dari piagam Madinah yang sangat fundamen yang menunjukkan kepedulian Rasulullah terhadap keutuhan negara:
Piagam Madinah Nomor:
24. Kedua pihak kaum Muslimin dan kaum Yahudi bekerjasama dalam menanggung pembiayaan di kala mereka melakukan perang bersama.
37. Kaum Yahudi dan kaum Muslimin membiayai pihaknya masing-masing. Kedua belah pihak akan membela satu dengan yang lain dalam menghadapi pihak yang memerangi kelompok-kelompok masyarakat yang menyetujui piagam perjanjian ini. Kedua belah pihak juga saling memberikan saran dan nasihat dalam kebaikan, tidak dalam perbuatan dosa.
39. Daerah-daerah Yatsrib terlarang perlu dilindungi dari setiap ancaman untuk kepentingan penduduknya.
44. Semua warga bahu-membahu dalam menghadapi pihak lain yang melancarkan serangan terhadap Yatsrib.[1]
Selain itu, di abad milenium ini, cara penyebaran islam melalui tindakan-tindakan yang berasas toleransi dianggap lebih relevan daripada cara penyebaran islam melalui metode perang. Pasalnya, karakter umat manusia di abad milenium jauh lebih sulit untuk bersimpati pada kalangan arogan yang bertindak keras dan cenderung radikal. Bahkan, simpati mereka akan jauh leih mudah didapat dengan sesuatu yang lembut dan penuh keramahan. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam QS. Ali Imron ayat 159, yaitu:
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ
Maka dengan rahmat dari Allah, kamu (Muhammad dapat) bersikap lembut kepada mereka (umatmu). Seandainya, kamu adalah orang yang kasar dan keras hati, niscaya mereka akan menjauh dari sisimu. Maka maafkanlah mereka, dan  mohonkanlah ampun bagi mereka dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam (segala) urusan, maka ketika kamu telah yakin, bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertawakkal.” (QS. Ali Imron: 159)
Ayat di atas memberikan sedikit gambaran tentang karakter umat Rasulullah saw. yakni, mereka akan cenderung bersimpati kepada orang yang penuh dengan keramahan, memiliki toleransi dan tenggang rasa yang tinggi, berkarakter mulia serta berbudi luhur. Ditambah lagi, mereka akan cenderung membenci serta menjauhi figur yang memiliki perangai sebaliknya, yakni figur yang kasar, keras hati, dan juga tempramental. Di sisi lain, ayat di atas juga memberikan gambaran tentang alasan kenapa Rasulullah dapat bertahan mendapatkan posisi di hati para kaumnya, yakni dengan sikap keramahan dan jiwa toleransi tinggi yang melekat pada pribadi Beliau. Sehingga, cara Islam Nusantara dalam bertahan di bumi Indonesia serta dalam mempertahankan kedamaian dan persatuan Indonesia dengan mengedepankan asas toleransi merupakan keteladanan yang terinspirasi dari Rasulullah sekaligus juga merupakan manifestasi dari sunnah yang telah diajarkan oleh Rasulullah saw.
Namun beberapa dekade belakangan muncul gerakan-gerakan radikal yang mengatasnamakan Islam. Mereka mengkampanyekan tentang idealisme darul islam, dan memberikan harapan tentang kembalinya masa kejayaan islam seperti pada abad ke-13 Masehi. Dalam hal penyebaran islam, mereka cenderung memilih jalur yang keras sebagai metode penyebaran Islam mereka. Mereka berasumsi dengan metode jihad yang demikian, maka Islam akan kembali menemui kejayaannya dan mencapai masa keemasannya. Menurut versi mereka, islam akan terus terpuruk bahkan akan menemui titik kehancurannya jika tidak ada langkah yang tegas semacam itu. Gerakan yang menamai diri dengan pembaru Islam ini juga menolak dengan keras segala hal yang tidak pernah dilakukan oleh Rosulullah saw. Mereka cenderung mengabaikan nilai-nilai toleransi, Adaptif  serta koperatif yang telah diajarkan oleh Rosulullah saw. dalam berdakwah. Sehingga mereka menganggap adopsi budaya ke dalam syari’at merupakan suatu kesalahan. Bahkan, beberapa golongan dengan berani membid’ahkan atau mungkin mengkufurkan segala bentuk budaya yang telah berkembang bersama Islam Nusantara selama puluhan bahkan ratusan tahun. Padahal, notabene Islam Nusantara merupakan implementasi dari Ma Ana ‘Alaihi Wa Ashhabiy, atau ahlus sunnah wal jama’ah, yang telah membuktikan diri mampu membumikan syari’at islam di Indonesia serta menjaganya tetap kokoh di Indonesia bersamaan dengan mewujudkan perdamaian dan keutuhan NKRI selama bertahun-tahun.
Pernyataan tentang partisipasi Islam Nusantara dalam menjaga keutuhan NKRI ini dibuktikan oleh catatan sejarah Indonesia yang mengungkapkan bahwa Islam Nusantara, yang merupakan jargon ahlussunnah wal jama’ah di Indonesia, dengan dimotori oleh para ulama’ yang terjamin kredibilitasnya mampu menjawab serta mengatasi berbagai masalah yang pelik terkait urusan kenegaraan, utamanya dalam menjaga keutuhan dan persatuan NKRI. Terbukti bahwa dalam beberapa peperangan dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia, Islam Nusantara memberikan kontribusi yang cukup besar, yakni melalui Resolusi Jihad yang dikelurkan oleh KH. Hasyim Asy’ari pada tanggal 22 Oktober 1945. Resolusi Jihad ini bukan semata-mata karena merasa terusik dengan perilaku penjajah kolonial, tapi lebih termotifasi untuk mengimplementasikan  rasa hubbul wathon yang telah diajarkan Rasulullah saw. dalam menjalankan kehidupan beragama dan bernegara dan juga sebagai bentuk respon atas ancaman keutuhan negara.
Kembali pada pembahasan tentang golongan yang bersikap radikal, muncul suatu hal yang ironis. Bagaimana mungkin Islam dapat mencapai kejayaannya sebagai agama yang rahmatan lil ‘alamin jika nilai-nilai keislaman justru luntur dan kabur oleh tindakan mereka? Apakah mungkin mereka mampu mewujudkan cita-cita luhur islam sebagai agama rahmatan lil ‘alamin, jika tindakan yang mereka lakukan sama sekali tidak menunjukkan budi luhur nan mulia yang diajarkan dalam agama islam? Alih-alih mengembalikan kejayaan islam, islam justru akan semakin terpuruk, karena islam akan tampil sebagai figur penuh teror yang menakutkan. Dan bahkan, sangat dimungkinkan pihak-pihak yang semula bersimpati kepada islam justru akan berbalik memusuhi islam. Implikasinya, tindakan-tindakan teror nan radikal ini justru akan menjadi bumerang yang menjadi awal kehancuran peradaban islam itu sendiri. Sedangkan, wacana tentang kemajuan islam hanya akan menjadi sebuah harapan palsu, dan khayalan yang jauh dari kenyataan bagi warga muslim di seluruh dunia.
Akibatnya, tindakan- tindakan radikal ini pun menjadi sesuatu yang amat serius diperbincangkan. Dan parahnya, tindakan-tindakan radikal tersebut dianggap sebagai ancaman serius terhadap keamanan dan perdamaian. Sehingga umat islam sendirilah yang tercoreng kehormatannya dengan tindakan-tindakan tersebut.
Radikalisme yang mengatasnamakan agama islam ini pun tak lepas dari  sorotan berbagi kalangan. Bahkan menjadi objek yang dianggap perlu dikaji oleh para pengamat agama dan sosial. Hasilnya, para pengamat agama pun mensinyalir, karena memang belum ada bukti fisik yang kuat, bahwa golongan radikal ini merupakan produk dari kalangan yang membenci serta menginginkan kehancuran islam. Suatu anomali yang tidak masuk akal dan tidak dapat diterima, bahwa golongan yang mengatasnamakan diri sebagai penegak panji kejayaan islam justru ditelurkan oleh kalangan yang menginginkan kehancuran islam. Meski belum ada kepastian tentang hal tersebut, setidaknya ada sebuah indikasi bahwa golongan-golongan tersebut ditunggangi oleh beberapa kepentingan yang menguntungkan sebelah pihak, semacam usaha konspirasi yang dimulai dengan pemecahan dan adu domba dalam sebuah golongan.
Lebih jauh lagi, akan muncul sebuah ironi dalam tindakan-tindakan radikal ini. Jika berfikir lebih dalam, tentu akan disadari bahwa tindakan-tindakan radikal semacam di atas tentu amat jauh dari fithroh agama islam yang sejatinya merupakan agama yang damai serta siap menjadi rohmatan lil ‘alamin. Dan mana mungkin tercipta kedamaian dari tindakan teror yang radikal?
Sehingga, dapat ditarik sebuah kesimpulan, bahwa tindakan pembahruan yang mengkampanyekan tentang pengembalian kejayan islam, namun memiliki tindakan yang radikal adalah tindakan kosong yang hakikatnya justru melecehkan dan menghancurkan citra islam sebagai agama yang damai. Di sisi lain, memepertahankan Islam Nusantara di Indonesia adalah sebuah keharusan, mengingat bahwa Islam Nusantara adalah sebuah manifestasi dari agama islam yang mengimplementasikan ajaran ahlus sunnah wal jama’ah yang telah dibawa dan diajarkan oleh Rasulullah saw. yang dijiwai oleh asas koperatif, adaptif, dan toleransi. Apalagi, Islam Nusantara telah mampu membuktikan bahwa dirinya mampu menjaga keutuhan dan perdamaian NKRI.
Dari uraian di atas, tidaklah berlebihan jika menjadikan Islam Nusantara sebagai sebuah potret peradaban madani yang menginspirasi jutaan umat manusia di seluruh penjuru dunia.
Kediri, 30 Maret 2016

Muhammad Fajrul Falah Fashihuddin

[1] Munawwir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran, (Jakarta: UI Press 1993), 13-15.

Related Posts:

0 Response to "Islam Nusantara: Potret Peradaban Madani"

Post a Comment