Menghadapi hal demikian, pemerintah
telah melakukan berbagai upaya, mulai dari
program ekonomi berbasis global, peningkatan mutu dan kualitas kehidupan
masyarakat bebasis, serta berwawasan IPTEK dan program-program lain yan tak
terhitung jumlahnya. Namun, sungguh ironis, mayoritas dari program tersebut
mungkin justru menjadi homework yang membuat momok globalisasi semikin
menakutkan, dan membuat Indonesia
semkain terpenjara dalam dunianya sendiri. Padahal program-program tersebut
telah dirancang sedemikian rupa, serta dimatangkan melalui proses yang panjang
dan rumit, tapi mengapa masih saja banyak yang meleset dari sasaran dan seakan menjadi
bumerang yang mengancam.
Sebenarnya program yang dibuat
pemerintah adalah program-program yang sangat bagus. Hanya saja pada tahap aplikasinya jauh dari kata berhasil dan tidak dapat mencapai
prospek yang diharapkan seperti pada tahap konsep. Setidaknya ada 2 faktor
utama yang sangat mempengaruhi hal ini, yakni mutu pendidikan yang rendah dan SDM (sumber daya
manusia) yang kurang memadai akan konsep
yang dirancang. 2 faktor yang sebenarnya saling terikat ini akan mempengaruhi
segala konsep karena subyek dan obyek pengaplikasian konsep juga tergantung
pada 2 hal tersebut.
SDM mumpuni adalah syarat utama
untuk kesempurnaan pengaplikasian sebuah konsep. Sebaliknya, SDM yang tidak
relevan dengan konsep hanya akan membuahkan
hasil zero. Sehingga dibutuhkan kesesuaian antara konsep dengan SDM yang menjalankan.
Memang tidak ada salahnya meniru dan mencontoh program-program negara-negara
lain yang mendapat label negara maju. Namun, yang perlu diperhatikan adalah
kondisi SDM yang bersangkutan. Keberhasilan program di nagara-negara maju
tersebut memang karena didukung oleh SDM yang sesuai. Sehingga bagi Indonesia,
seharusnya juga harus melakukan hal yang sama, yakni menyesuaikan antara konsep
dan SDM warga negara Indonesia, dan terus dikembangkan beriringan dengan
perkembangan SDM.
Sedangkan perkembangan SDM sendiri
sangat dipengaruhi oleh mutu pendidikan. Mutu pendididkan yang rendah juga akan
menghasilkan SDM yang rendah pula. Sehingga jika dikaitkan, mutu dan kualitas
pendidikan yang rendah akan menyebabkan kegagalan pengaplikasian berbagai
konsep menghadapi globalisasi. Sehingga pembenahan pertama yang seharusnya
dilakukan adalah peningkatan mutu dan kualitas pendidikan, dan satu-satunya solusi
yang tepat adalah perubahan sistem pendidikan. Jika diteliti lebih lanjut, kita
akan menemukan apa yang salah dengan sistem pendidikan di Indonesia.
Beberapa
diantaranya adalah sebagai berikut:
a)
Terlalu banyak mata pelajaran yang
harus dikuasai oleh siswa.
Kodrat dan fitrah manusia diciptakan
sebagai makhluk dengan kemampuan yang terbatas. Bukan diciptakan sebagai
makhluk super yang maha bisa mempelajari, menguasai, dan melakukan segala.
Sehingga sangat ironis jika memaksakan makhluk yang penuh keterbatasan untuk
menguasai segalanya.
b)
Terbatas pada satu target angka yang
sama.
Secara psikologis, target akan
menjadi batas kepuasan seseorang. Sehingga ketika seseorang telah mencapai
target yang direncanakan ia akan cenderung stagnan dan malas untuk kembali
bergerak. Hal ini sangat menghawatirkan dalam bidang pendidikan. Karena, ruh
utama pendidikan adalah proses berkelanjutan dalam rangka perbaikan dan
peningkatan kualitas diri. Sehingga penentuan target numerik sebagai standar
keberhasilan hanya akan menumpulkan kreatifitas dan produktifitas seseorang.
Karena stimulan kreatifitas dan produktifitas hanya difokuskan pada target
tersebut dan akan berhenti ketika target tercapai.
Di sisi lain, penentuan target yang
sama pada setiap individu juga akan berdampak negatif pada mental, jiwa dan
psikis pada beberapa individu. Seperti yang telah menjadi rahasia umum bahwa
manusia diciptakan dengan kemampuan yang berbeda. Perbedaan latar belakang,
minat dan bakat juga akan menjadi faktor variasi skill seseorang, sehingga
penekanan pada target yang sama pada semua
individu akan merusak keseimbangan psikis seseorang dan justru menghambat
skill yang seharusnya dikembangkan. Jika dianalogikan, seluruh individu
merupakan satu kesatuan sepeda motor yang utuh, ada yang berposisi sebagai
roda, rem, knalpot, setir, dan lain sebagainya, dan mana mungkin kita dapat
memberikan standar yang sama pada berbagai spare part tersebut. Bahkan justru
dengan perbedaanlah sepeda motor tersebut nyaman dipakai dan dikendarai.
Seharusnya, kesadaran ini juga harus dimunculkan dalam sistem pendidikan.
Sehingga pendidikan menjadi wadah pengasah skill setiap individu, bukan menganak
emaskan salah satu, dan menganak tirikan yang lain.
Sekitar 5 atau 6 dekade yang lalu, pesantren adalah lembaga ideal
yang mampu menjawab 2 permasalahan sistem pendidikan diatas. Namun, akhir-akhir
ini banyak pesantren yang mulai kehilangan jati diri. Banyak pesantren yang
justru terkontaminasi dengan 2 permasalahan diatas. Sehingga, output
yang diharapkan dapat menjadi pribadi yang kuat di abad globalisasi justru
menjadi rentan dan lemah.
Banyak yang berdalih kita harus berubah seiring perkembangan zaman,
kita harus dinamis. Memang tak ada salahnya bersikap dinamis, namun jangan
sampai dinamis yang terpuji justru menjadi tercela karena menghapus jati diri.
Sehingga , di abad globalisasi ini, pesantren seharusnya terus
memperkokoh jati dirinya,dan mencetak output yang mampu untuk survive
tanpa harus melepas jati diri pesantren, dan berkualitas dalam skill
mereka masing- masing.
0 Response to "DIMANA WAJAH PESANTREN?"
Post a Comment