DIMANA WAJAH PESANTREN?

 
           
Isu globalisasi semakin merebak semenjak terjadinya berbagai peristiwa besar di dunia internasional, seperi peristiwa Revolusi industri pada abad 18, yang kemudian disusul dengan perang dunia pada abad ke-19 dan ke-20, serta berbagia pergerakan nasional dan internasional di seluruh penjuru dunia yang menuntut berbagai negara saling berinteraksi dan terikat satu sama lain, yang pada akhirnya berekor pada kemunculan (negara) dominan dan pihak (negara) resesif. Sebenarnya hal itu bukanlah hal yang buruk, bahkan merupakan dongkrak positif yang memacu kreatifitas serta produktifitas semua individu secara menyeluruh dan merata di seluruh penjuru dunia, karena subtansi utama dari globalisasi adalah persaingan. Namun, pada kenyataannya isu globalisasi ini justru menjadi momok yang menakutkan di benak masyarakat bumi pertiwi, menjadi homework yang siap mengahantui setiap individu di Indonesia.
            Menghadapi hal demikian, pemerintah telah melakukan berbagai upaya, mulai dari  program ekonomi berbasis global, peningkatan mutu dan kualitas kehidupan masyarakat bebasis, serta berwawasan IPTEK dan program-program lain yan tak terhitung jumlahnya. Namun, sungguh ironis, mayoritas dari program tersebut mungkin justru menjadi homework yang membuat momok globalisasi semikin menakutkan,  dan membuat Indonesia semkain terpenjara dalam dunianya sendiri. Padahal program-program tersebut telah dirancang sedemikian rupa, serta dimatangkan melalui proses yang panjang dan rumit, tapi mengapa masih saja banyak yang meleset dari sasaran dan seakan menjadi bumerang yang mengancam.
            Sebenarnya program yang dibuat pemerintah adalah program-program yang sangat bagus. Hanya saja pada tahap aplikasinya  jauh dari kata berhasil dan tidak dapat mencapai prospek yang diharapkan seperti pada tahap konsep. Setidaknya ada 2 faktor utama yang sangat mempengaruhi hal ini, yakni mutu  pendidikan yang rendah dan SDM (sumber daya manusia) yang kurang memadai akan  konsep yang dirancang. 2 faktor yang sebenarnya saling terikat ini akan mempengaruhi segala konsep karena subyek dan obyek pengaplikasian konsep juga tergantung pada 2 hal tersebut.
            SDM mumpuni adalah syarat utama untuk kesempurnaan pengaplikasian sebuah konsep. Sebaliknya, SDM yang tidak relevan dengan konsep  hanya akan membuahkan hasil zero. Sehingga dibutuhkan kesesuaian  antara konsep dengan SDM yang menjalankan. Memang tidak ada salahnya meniru dan mencontoh program-program negara-negara lain yang mendapat label negara maju. Namun, yang perlu diperhatikan adalah kondisi SDM yang bersangkutan. Keberhasilan program di nagara-negara maju tersebut memang karena didukung oleh SDM yang sesuai. Sehingga bagi Indonesia, seharusnya juga harus melakukan hal yang sama, yakni menyesuaikan antara konsep dan SDM warga negara Indonesia, dan terus dikembangkan beriringan dengan perkembangan SDM.
            Sedangkan perkembangan SDM sendiri sangat dipengaruhi oleh mutu pendidikan. Mutu pendididkan yang rendah juga akan menghasilkan SDM yang rendah pula. Sehingga jika dikaitkan, mutu dan kualitas pendidikan yang rendah akan menyebabkan kegagalan pengaplikasian berbagai konsep menghadapi globalisasi. Sehingga pembenahan pertama yang seharusnya dilakukan adalah peningkatan mutu dan kualitas pendidikan, dan satu-satunya solusi yang tepat adalah perubahan sistem pendidikan. Jika diteliti lebih lanjut, kita akan menemukan apa yang salah dengan sistem pendidikan di Indonesia.
Beberapa diantaranya adalah sebagai berikut:
a)      Terlalu banyak mata pelajaran yang harus dikuasai oleh siswa.
Kodrat dan fitrah manusia diciptakan sebagai makhluk dengan kemampuan yang terbatas. Bukan diciptakan sebagai makhluk super yang maha bisa mempelajari, menguasai, dan melakukan segala. Sehingga sangat ironis jika memaksakan makhluk yang penuh keterbatasan untuk menguasai segalanya.

b)      Terbatas pada satu target angka yang sama.
Secara psikologis, target akan menjadi batas kepuasan seseorang. Sehingga ketika seseorang telah mencapai target yang direncanakan ia akan cenderung stagnan dan malas untuk kembali bergerak. Hal ini sangat menghawatirkan dalam bidang pendidikan. Karena, ruh utama pendidikan adalah proses berkelanjutan dalam rangka perbaikan dan peningkatan kualitas diri. Sehingga penentuan target numerik sebagai standar keberhasilan hanya akan menumpulkan kreatifitas dan produktifitas seseorang. Karena stimulan kreatifitas dan produktifitas hanya difokuskan pada target tersebut dan akan berhenti ketika target tercapai.
Di sisi lain, penentuan target yang sama pada setiap individu juga akan berdampak negatif pada mental, jiwa dan psikis pada beberapa individu. Seperti yang telah menjadi rahasia umum bahwa manusia diciptakan dengan kemampuan yang berbeda. Perbedaan latar belakang, minat dan bakat juga akan menjadi faktor variasi skill seseorang, sehingga penekanan pada target yang sama pada semua  individu akan merusak keseimbangan psikis seseorang dan justru menghambat skill yang seharusnya dikembangkan. Jika dianalogikan, seluruh individu merupakan satu kesatuan sepeda motor yang utuh, ada yang berposisi sebagai roda, rem, knalpot, setir, dan lain sebagainya, dan mana mungkin kita dapat memberikan standar yang sama pada berbagai spare part tersebut. Bahkan justru dengan perbedaanlah sepeda motor tersebut nyaman dipakai dan dikendarai. Seharusnya, kesadaran ini juga harus dimunculkan dalam sistem pendidikan. Sehingga pendidikan menjadi wadah pengasah skill setiap individu, bukan menganak emaskan salah satu, dan menganak tirikan yang lain.
Sekitar 5 atau 6 dekade yang lalu, pesantren adalah lembaga ideal yang mampu menjawab 2 permasalahan sistem pendidikan diatas. Namun, akhir-akhir ini banyak pesantren yang mulai kehilangan jati diri. Banyak pesantren yang justru terkontaminasi dengan 2 permasalahan diatas. Sehingga, output yang diharapkan dapat menjadi pribadi yang kuat di abad globalisasi justru menjadi rentan dan lemah.
Banyak yang berdalih kita harus berubah seiring perkembangan zaman, kita harus dinamis. Memang tak ada salahnya bersikap dinamis, namun jangan sampai dinamis yang terpuji justru menjadi tercela karena menghapus jati diri.
Sehingga , di abad globalisasi ini, pesantren seharusnya terus memperkokoh jati dirinya,dan mencetak output yang mampu untuk survive tanpa harus melepas jati diri pesantren, dan berkualitas dalam skill mereka masing- masing.

Related Posts:

0 Response to "DIMANA WAJAH PESANTREN?"

Post a Comment